keatz

Monday, January 16, 2006

Pagi Yang Muram...


Pagi ini, kutinggalkan rumah seperti biasanya untuk memenuhi kewajiban: bekerja. Matahari mengalah untuk tidak memberikan sinarnya sesuai jadwal yang telah disepakati. Awan putihlah yang pegang peranan sejak menjelang peringatan lahirnya Yesus Kristus. So, gampang ditebak, khususnya Jakarta bahwa bau baju yang gak kering udah biasa. Hampir tiap hari selalu mendung dan orang-orang di daerah tertentu selalu berharap cemas akan datangnya souvenir likuid: banjir!

Bener juga, pas jam 12 hujan turun deras sekali. Kelihatan sekali angin kencang dari sisi kiri gedung. Banyak teman yang cari OB karena makan diluar gak mungkin. OB-OB yang dibutuhkan sudah setengah jam yang lalu cabut untuk melayani pelanggan yang emang rutin nitip makan siang. Sementara yang temporer begitu kelabakan menunggu datangnya OB. Kulihat di bawah udah berkerumun ojek payung menawarkan jasanya. Sekelompok kecil masyarakat yang mendapat berkah akibat hujan.

Di layar tv, selintas terlihat beberapa kali tayangan iklan dari sampoerna dengan tagline simple banjir kok tradisi, sementara visualisasinya ada beberapa orang berseragam (mungkin pemda atau kerabatnya) mengabarkan bahwa banjir telah datang. Salut buat sampoerna yang telah rela mengeluarkan bugdet untuk iklan yang oleh sebagian orang masih dianggap buang-buang duit, artinya tidak menjual, tidak ada produk, tidak ada logo perusahaan yang besar.

Akan tetapi, banjir yang di-"suudzon"i sebagai bencana tidak membuat pemerintah dan masyarakat menjadi cerdas dengan mengantisipasi atau paling tidak merubah kebiasaan hidup yang bisa mengakibatkan banjir. Mudah ditebak, berbagai pernyataan di bermacam media pastilah saling menyalahkan. Satu lagi kebiasaan buruk yang telah menjadi komoditi media. Pemerintah dan banyak segelintir pakar atau orang yang sok tahu akan menyalahkan masyarakat, karena perbuatannya menyebabkan banjir apakah itu kebiasaan sehari-hari dengan membuang sampah sembarangan sampai penebangan hutan.

Mengapa masyarakat membuang sampah sembarangan, mengapa hutan ditebangi terus. Mencari jawabannya adalah pekerjaan yang sangat menguras energi. Jangan gantungkan harapan kepada institusi resmi karena akan dua kali menguras energi juga, apalagi partai politik... Lebih baik memikirkan langkah ke depan agar dapat merebut kursi kekuasaan.

Yang mempunyai positiv thinking pastilah akan berpikir bahwa banjir juga membawa dampak sosial tentang solidaritas dan melahirkan dua peranan dikotomis: ada korban ada penyelamat. Semua berlomba dan secara verbal bersikap kasihan dengan menyalurkan berbagai bantuan tenaga dan biaya. Si korban yang ter-hegemoni akan berterima kasih karena selamat dan merasa terkasihi, sekali-sekali merasa menjadi subyek walaupun tetap membuang sampah sembarangan dan menetap di daerah yang hampir pasti selalu kena banjir.

Pemerintah juga tidak rugi membayar pegawainya karena ada beberapa departemen terkait secara kasat mata kelihatan bekerja karena "musibah" banjir ini. Menterinya pun secara berkala harus membagi-bagikan statement tentang eksistensi departemennya dan keberhasilan atau paling tidak klarifikasi kalau dianggap tidak becus bekerja....(kayak tayangan berita kriminal aja di tv...ada kepala polisi yang memberikan keterangan sementara para anak buahnya mendampingi di belakang agar masuk tv juga...). Maka tahun depan tentunya boleh dong, anggaran dimark up lagi.

Nah, tentunya iklan Sampoerna versi banjir mempunyai tujuan tertentu. Siapa nih yang mau ditembak...kalau misalkan banjir itu membawa berbagai keuntungan bagi segelintir orang di atas penderitaan korban yang ternyata begitu menerima nasibnya....tag line iklan tersebut sudah ada jawabannya dong!!! BANJIR EMANG HARUS JADI TRADISI !!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home