keatz

Tuesday, January 13, 2009

Tanggal siji...

Salah satu sahabat bilang lewat imil, kok gak pernah curhat lagi diblog…ah!!! Kayak aku penulis ngetop aja, selalu ditunggu keluarnya kalimat-kalimat dari pencetan tombol-tombol keyboard. Ah!!!... emang ada beberapa curhatan yang belum sempat kelar sejak sebelum puasa dan tentu saja terlewatkan momennya. Tak kusesali semua itu seperti tak kusesali hidup di Indonesia ini.

Ada beberapa alur kehidupan yang sempat kurencanakan dan ternyata aku dihadapkan satu pilihan yang harus aku terima dengan ihklas. Kelahiran anak keduaku yang tiba-tiba Dititipkan Tuhan lebih awal dari biasanya membuat semua rencana harus dirubah. Seperti cobaan yang harus dilalui dengan ikhlas, maka harus berimprovisasi mengikuti arus ruang dan waktu. Kebahagiaan mempunyai bayi lagi yang harus aku depankan melawan segala rencana duniawi lainnya.

Akhirnya aku lewati juga 2008 seperti aku melewatkan hari-hari biasa. Semua hari tidak ada yang istimewa lagi karena manusialah yang sebetulnya membuat hari Sabtu lebih istimewa dari Senin atau hari yang lain. Kecuali emang ada waktu-waktu tertentu yang secara dogmatis akan menjadi istimewa diiringi aktifitas ritual dan sebagainya sampai menjadi suatu kebiasaan kultural dan diamini oleh semua pihak. Lucunya, kadang manusia suka ama feodalisme, hingga waktu aja dipilah-pilah sesuai kasta: perayaan ulang tahun aja paling wajib adalah yang ke-17, lantas ada ultah perkawinan perunggu, perak, emas atau platinum. Tapi sah-sah aja kok, sepanjang gak nyusahin orang lain.

Awal Januari kayaknya didominasi berita luar negeri tentang Israel-Palestina yang sebetulnya sudah “digariskan” untuk bersinggungan. Lumayanlah ada berita aktual sehingga kita tidak terlalu dijejali berita atau info menjijikkan tentang selebriti Indonesia yang semakin lama semakin halal untuk segera dicuekin. Program tv juga masih itu-itu saja, sehingga ibu Megawati – ketika tampil di acara talk show tv swasta - memperlihatkan keprihatinan tentang program sinetron di Indonesia yang jauh dari baik. Kita sangat setuju denga pendapat bijak tersebut, tapi ketika yang mengungkapkan seorang mantan presiden RI, maka ungkapan tersebut akan menjadi bias…(kenapa gak dari dulu mbak Mega…ketika masih Presiden…tinggal ketok palu, bereslah tayangan tv itu)…tapi sekali lagi kita harus belajar positive thinking dengan menghormati pendapat positif tersebut. Mudah-mudahan siapa pun presidennya nanti akan mentertibkan tayangan tv yang gratis itu.

Apakah 2009 ini menjadi tahun yang sulit?...tergantung kita aja. Coba deh, semua elite politik di negeri ini saling berbagi kebaikan, pasti menjadi tahun yang gampang. Intinya cuma ada di tangan pemerintah dan parlemen. Tahun ini adalah tahun politik. Pemilu akan digelar dan tentunya semua masyarakat akan dihimbau untuk mensukseskan hajatan nasional ini. Komentar politik yang hampir selalu didasari negative thingking sudah menjadi keharusan, sehingga hampir setiap ada presiden terpilih sejak dulu selalu dicari kelemahan dan kesalahannya. Posisi di kabinet selalu terkapling-kapling tanpa memperdulikan bahwa kesejahteraan rakyat adalah wajib hukumnya.

Awal Januari menjadi awal kampanye “hard selling”, kalo 2008 dan sebelumnya masih malu-malu sekarang gak apa-apa kalo malu-malu-in…hampir di setiap pengkolan tersebar baliho, poster, stiker, spanduk dan segala media luar ruang tentang kampanye. Terpampang muka-muka asing dengan segala gelar dan atributnya serta tentu saja yang paling penting janjinya. Pencitraan diri yang memaksakan. Hampir seragam sekali kemasannya. Hanya ada satu kata untuk mengomentarinya: ndeso!!! Disini dilarang mempertanyakan apa program yang akan dikerjakan untuk rakyat. Anda akan mendapatkan jawaban yang seragam pula. Ah, kan saya udah bilang bahwa kita harus dan wajib berpikiran positif, makanya kita doain saja semoga para caleg dan pemilu tahun ini berjalan sukses. Rakyat bertambah pintar dan akhirnya sejahtera dunia akherat. Ingat…positive thinking!!!

Wednesday, March 26, 2008

Pindah Kantor


Awal 2008 ditandai dengan boyongan dan pindah ke gedung baru. Seperti halnya rumah, pindahan kantor baru juga sangat menyita waktu dan terutama biaya karena menyangkut sejumlah besar karyawan dan berbagai peralatan. Capek? Iya. Karena ini bukan yang pertama kali.

Dari tempat dudukku sekarang, terlihat jelas bangunan sakral berbentuk oval. Stadion Senayan (aku sih lebih suka menyebut stadion Senayan…kayaknya lebih bebas nilai) Tempat berlangsungnya berbagai kegiatan olahraga yang bersejarah. Awal januari pun sudah mencatat sejarah. Sejarah yang menambah daftar hitam persepakbolaan Indonesia. Masih teringat dua bulan yang lalu seorang pendukung kesebelasan Persija ditemukan sudah tak bernyawa. Nah, yang menjadi pertayaan adalah mau berapa nyawa lagi sih untuk bisa memperbaiki kualitas sepakbola Indonesia? PSSI maupun pemerintah boleh kok minta berapa nyawa asal sepakbola Indonesia dipimpin oleh orang-orang yang punya muka. Tetapi sebelum kita menyerahkan nyawa mereka yang di PSSI harus dihilangkan nyawanya dulu. Aku yakin bangsa Indonesia tidak akan kehilangan sedikit pun. Keluarga mereka kalau punya muka juga akan merelakan.

Bukankah para perwakilan supporter yang datang ke kantor PSSI dan memberikan usulan-usulan, mempunyai niat baik agar sepakbola Indonesia bermartabat. Lha iya, lebih dari dua ratus juta orang, masih aja kelihatan konyol kalau bertanding sepakbola melawan negara lain. Kalau kita ambil 50 juta orang saja yang bisa main bola, maka sudah lebih dari 4 juta kesebelasan. Pengurus PSSI mungkin menganggap bahwa dari lebih dua ratus juta orang, yang terbaik adalah yang berada di Cipinang yang berhak menjadi pimpinannya. Maaf, gak usah dibayangkan. Prihatin rasanya melihat bangsa yang bisanya hanya DI bukan yang ME. Pasif banget. DI-kalahkan, DI-kibuli, DI-mlaratkan dan DI-suruh menerima nasib apa adanya…

Masak sih, sedemikian parahnya bangsa ini sehingga cuma bisa ME-ngalahkan bangsanya sendiri, ME-ngkibuli bangsanya sendiri, ME-mlaratkan bangsanya sendiri. Pengkibulan massal akan terjadi lagi tahun depan. Rakyat akan menjadi kewajiban yang harus dibela, dirayu lagi hingga kemudian diperkosa selama lima tahun ke depan. Nah, kalo udah begini siapa yang akan tertawa. Mentertawakan nasib bangsa yang seakan-akan makmur tapi babak belur.

Rasanya capek juga kalo ngomongin nasib bangsa ini. Apatis dan pesimis bisa terjadi dan sangatlah manusiawi walaupun harus dihindari. Rasa optimis selalu ada, kalo gak gitu ngapain mas Budiarto Shambazy capek-capek ngingetin kita semua lewat tulisannya di rubrik Politika, ngapain mas Langit Kresna Hariadi bersusah-susah bikin novel Gajah Mada (apabila beliau-beliau kaya raya dengan hasil tulisannya itu adalah rejeki Tuhan). Dari dulu intonasi suara Iwan Fals pun begitu jelas kala menyanyikan lagu Wakil Rakyat, tapi yang selalu sumbang justru obyek yang jadi bahan lagu tersebut. Belum lagi doa-doa yang selalu dipanjatkan oleh seluruh alim ulama di seluruh nusantara baik yang memakai bahasa kita maupun bahasa asing adalah wujud “positive thinking” untuk kebaikan bangsa ini.

Akhirnya gara-gara pindah kantor dan hanya karena bisa melihat stadion bersejarah setiap hari, semakin yakinlah bahwa aku gak mempunyai harapan lagi untuk bisa mengikuti perayaan besar di tahun depan. Atau mungkin aku harus bersyukur bahwa aku tidak harus mencuci jari kelingkingku dari noda tinta haram yang sangat menyakiti hati rakyat.

Wednesday, December 19, 2007

NIAT


2007 sudah semakin renta dan tak lama akan meninggalkan selaksa cerita. Nah, saat inilah musim kalaedoskop berbuah. Mencoba merangkum berbagai peristiwa yang dianggap paling penting untuk dijadikan bahan peringatan hidup atau sekedar bahan romantis-romantisan.

Jadi, ingat TVRI yang setiap akhir tahun selalu menayangkan rangkuman kaleidoskop nasional dan internasional. Gimana kabarnya ya si TURI itu… Waktu kecil aku dan teman-teman selalu menyebut “turi” karena logonya yang bervisual huruf T,V,R dan I…hanya karena huruf V seperti U dan terletak di kanan atas, trus kecil banget karena tv tetangga juga masih kecil, maka kita ngebacanya jadi TURI. Setelah gede, baru aku tahu kalau logo di kanan atas istilah tv-nya adalah “bugs” atau super impose dan ternyata logo itu bukan “dibaca” tapi “dilihat”…yo wis lah.

Yang aku heran adalah kenapa kok tahun 2007 ini aku hanya sempat menulis dua unek-unek sampah ini sementara Remy Silado, Budiarto Shambazy dan Langit Kresna Hariadi bisa merusak “keyboard” berkali-kali karena dipencet ribuan kali dengan hati. (tentang Langit Kresna, aku baru ngerti banget karena ngobrol dengan Mas Slamet Widodo – Sang Pendekar dari Gunung Simping…) Lha aku kok gak bisa seperti mereka?...Kalau mereka tahu pertanyaan pandir ini, pasti serentak menjawab “lha kamu gak niat!...”

NIAT. Kata sederhana penuh makna. Apa pun tujuan akhirnya baik dan buruk, niat selalu menjadi awal. Kalau melihat Indonesia yang gak maju-maju, sehingga Mas Bas begitu jengkel karena wajib mengisi kolom Politika, pastilah jawabannya sama “Lha kamu jadi pemerintah gak niat!”…Gak niat menaikkan anggaran pendidikan. Gak niat untuk berani bilang Benar ya Benar, Salah ya Salah. Gak niat untuk bikin maju PSSI hingga akhirnya kita bilang pemerintah gak niat untuk jujur kepada rakyatnya.

Kita tunggu aja, apakah peristiwa Lapindo dijadikan peristiwa penting selama dua tahun berturut-turut untuk dijadikan bahan kaleidoskop atau kalau mau kita jadikan peristiwa penting rutin sampai Jawa Timur tengelam dulu, baru kita cari bahan lain untuk kaleidoskop. Kita lihat saja, apakah kelompok kepercayaan tertentu yang dianggap (oleh kalangan tertentu) sesat masih diuber-uber dan dibakari rumahnya, sementara para ulama yang dengan senang hati dan bangga akan gelar “ulama’ nya bingung mau berbuat apa…Ketika masih sekolah di SD, guru agamaku bilang bahwa Nabi Muhammad dulu dikejar-kejar dan dianiaya secara fisik dan sosial oleh golongan jahilliyah karena dianggap sesat. Tapi nabi Muhammad tidak pernah memberi contoh bahwa beliau adalah seorang pendendam.

Nah, kalau masalah keyakinan masing-masing seseorang atau golongan sudah merembet ke wilayah publik, kita tinggal menunggu pemerintah membimbing rakyatnya dengan cara se-bijaksana-bijaksananya dan dalam tempo se-singkat-singkatnya. Kalo belum dibimbing-bimbing dan gak bijaksana-bijaksana berarti pemerintah cocok jadi “guru” di karya Roger Waters:

The Happiest Days of our Lives

When we grew up and went to school
There were certain teachers who would
Hurt the children in any way they could

By pouring their derision
Upon anything we did
And exposing every weakness
However carefully hidden by the kids
But in the town, it was well known
When they got home at night, their fat and
Psychopathic wives would thrash them
Within inches of their lives.

Labels:

Wednesday, April 11, 2007

“Ada apa ya bangsa kita ini…?”

Tiga bulan sudah absen gak curhat. Rasanya hari-hari aku lalui seperti menghanyutkan diri dalam aliran sungai yang tak bermuara. Berbagai persoalan yang merangsang adrenalin hanyalah soal bagaimana tetap belajar beradaptasi, belajar ikhlas, belajar pasrah, belajar menerapkan “lateral thinking” terhadap segala hal yang berbau keluarga karena ikatan perkawinan.

Segala obrolan tentang keluarga bersama istri gak pernah lepas dari berbagai persoalan makro di Indonesia. Kenapa ini-kenapa itu, ujung-ujungnya selalu ada pertanyaan “Ada apa ya bangsa kita ini…?”. Jawabannya pun pasti beragam dan sampai mampus pun gak akan terjawab. Tapi anehnya, kita juga bisa dapat makan dan mampu menghidupi keluarga kita hanya dengan memanfaatkan berbagai pertanyaan tentang “ada apa ya bangsa kita ini”. Mulai pengrajin Event Organizer buat seminar, mass media, kalangan akademisi hingga tukang ramal serta peternak jin secara gak sadar memperoleh untung hanya dengan mengutak-atik nasib bangsa ini.

Kalau Anda sudah berkeluarga dan mempunyai anak yang terpaksa harus “sekolah”, mau gak mau harus menghadapi tantangan baru. Mengutak-atik “cash flow” rumah tangga yang otomatis tersedot ongkos status baru anak-anak kita agar pembicaraan jadi nyambung apabila kita ngobrol dengan orang lain. Komunikasi dua arah biasanya lancar apabila masing-masing yang berkomunikasi mengalami pengalaman yang sama dengan topik yang disepakati. Apabila musim penerimaan siswa baru, maka topik orang tua akan berkisar seputar ongkos anak kita untuk “pinter”.

Setelah ngobrol tentang ongkos sekolah, pikiran kita tergiring pada perbandingan. Yang ini murah, yang itu mahal. Yang ini bergengsi, yang itu norak. Yang ini kafir, yang itu dijamin masuk surga. Trus, kenapa ongkos sekolah sekarang mahal? Nah, balik lagi kan…pasti akan diomongin bahwa pemerintah kita sih kayak begini…mulai dari lumpur Lapindo sampai kasus STPDN atau apapun namanya akan menjadi topik bawaan yang terseret-seret karena persoalan “obrolan tentang biaya hidup kita sekeluarga”.

Apalagi pemilu mau digelar lagi dan ongkosnya pun tak terhingga apabila termasuk “social cost”. Pesta yang konon demokratis lima tahunan sudah barang tentu menjadi agenda utama para politisi-pedagang. Kayaknya lebih menarik daripada acara 17 Agustusan karena mungkin bendera yang berkibar saat pemilu tidak monoton. Semakin banyak warna, tentunya, semakin mahal pula ongkos produksinya. Duit di depan mata. Atau emang benar ya…bahwa pemilu adalah sebuah arena “perjudian” yang dilindungi oleh undang-undang?

Mungkin juga karena Pemilu itu lebih menarik, makanya banyak persoalan bangsa dianggap “sunnah” hukumnya. Masyarakat korban lumpur Lapindo dan sekitarnya serta sekitarnya yang agak jauh, diwajibkan menerima dan belajar pasrah bahwa cobaan dari Tuhan akan membawa berkah. Sama seperti kutipan liar yang selalu menimpah calon jemaah haji kita. Bayar pungli dengan ikhlas agar selamat dunia akhirat.

Belum lagi bencana lainnya. Paling-paling kita cuma bisa protes ke Tuhan yang telah Menciptakan bencana tersebut. Entah itu sebutan fenomena alam atau apa saja, tetap aja gak peduli bagaimana cara mengambil hikmah dari bencana tersebut dan menemukan solusinya sesuai Pancasila. Lagu Ebiet diputar lagi, siapa tahu ada yang bisa memahami dan mengerti bahasa tumbuhan sehingga bisa bertanya kepada rumput yang bergoyang. “kenapa ya, bangsa kita ini?...”

Friday, December 01, 2006

Wakil Kita



Berita seputar kelamin emang gak ada habisnya. Kali ini yang bikin penasaran adalah videomesum yang melibatkan seorang laki-laki yang diduga salah satu anggota DPR dengan seorang perempuan yang diduga penyanyi dangdut. Bisa jadi dalam hitungan detik, rekaman video tersebut sudah merebak ke seluruh penjuru dunia. Seperti virus HIV yang hari ini diperingati.

Seperti para praktisi pemasaran bilang, kalo segala sesuatu sudah punya nama dan bisa menjaga "brand equity"nya, maka topik apa pun pasti cepat direspon masyarakat. Coba simak aja demam pesta sepakbola Piala Dunia, walaupun lima tahun sekali diadakan. Orang pasti membicarakan. Nah, berhubung nama DPR sebagai brand sudah melekat di otak masyarakat, maka cepat sekali menjadi bahan pembicaraan. Kita bisa memilah sendiri, apakah selama ini respon masyarakat terhadap DPR itu negatif atau positif.

Kalau pun selama ini raport DPR masih merah, alangkah kasihannya anggota-anggota lain yang berusaha membirukannya. Sementara itu, segelintir anggota lain begitu tega menginjak kepala rakyat yang harus dibelanya. Andaikata KEKUASAAN tidak begitu populer dan tidak merupakan keharusan untuk diburu di benak para wakil rakyat, kita tidak perlu repot antri minyak, tidak perlu kuatir pajak yang kita bayar dipakai untuk ganti rugi Lumpur Lapindo, tidak selalu mengutuk sopir metromini yang memotong jalan, tidak usah capek capek cari hutang untuk menyekolahkan anak...dan "tidak-tidak" yang lain.

Bagaimana kalau ternyata di video mesum itu benar-benar anggota DPR? Ada dua pilihan yang "garing". Pertama,.. ya udahlah, kita tinggal menambahkan daftar hitam yang sudah memenuhi raport merah. Itu sih udah biasa. Kedua, ya udahlah, kita doakan mereka bertobat dan semoga mereka bisa memperbaiki di masa depan. Ah!! garing banget sih... abis gimana...Kalaupun mereka mau bener-bener berubah dan berbakti pada negara, mereka tinggal membongkar file lama, dan membaca lagi janji-janji mulia kepada rakyat, terus melaksanakannya dengan setulus hati. Setulus hati Nabi.

Friday, November 10, 2006

Menyambut Desember


Sejak kecil aku selalu ingat bahwa Desember adalah perayaan Natal. Walau pun tanpa acara mudik besar-besaran perayaan Natal bagiku adalah salah satu misteri kebesaran Tuhan. Mungkin terlalu sering lihat film-film asing bertema Natal di TV, kayaknya sejuk banget. Ada salju, Sinterklas, hadiah, harapan dan certita tentang baik dan buruk. Tetanggaku selalu membeli pohon natal dihias lampu warna warni, ditambahi kapas agar seperti salju. Sama seperti kata kakekku, apabila Ramadhan selalu ada kurma yang berasal dari Arab.

Lantas, setelah aku terjebak kemacetan sejak setelah Lebaran kemarin bayanganku tentang Desember mungkin sedikit berubah. Setelah tahu macetnya karena ada galian-galian baru, ada jalur baru busway, ada proyek monorel yang teronggok jorok, maka menjelang Desember adalah perayaan penghabisan anggaran. Toh, tahun depan masih ada dan wajib bikin anggaran maka mubadzirlah apabila anggaran tahun ini masih sisa... Kapan sih berakhir, pembangunan proyek pemerintah tanpa ada penjarahan uang rakyat... Kalaupun Ahmad Tohari sampai bikin cerita tentang "Orang Orang Proyek" mungkin dia mempunyai pertanyaan yang sama sejak dulu.

Orang kita emang aneh-aneh, sejak reformasi semakin aneh saja. Milih-milih pemimpin sendiri abis itu digoyang sendiri. Kalau presidennya bukan dari kelompoknya pasti selalu kelihatan salah melulu. Banyak orang merasa yang paling benar. Banyak orang yang sok masuk surga. Begitu rapuhnya empati mereka sehingga bencana alam pun jadi peluang usaha. Akhirnya aku lalui juga salah satu titik kemacetan dari sekian titik laknat tersebut. Kiat agar tak frustasi adalah tidak memikirkan bagaimana kemacetan itu terjadi akibat genangan hujan, akibat galian dan segala akibat egoisme struktural.

Anggap aja hidup ini judi, kalau hari ini kita tiba-tiba terjebak kemacetan berarti kita harus menikmati dan apabila perjalanan kita lancar jaya anggap aja baru dapat jackpot. Lebar jalan tetap, pemakai kendaraan bertambah, ya pasti dong tumplek blek dan macet. Sama aja kayak jumlah petani selalu bertambah, tapi lahan untuk digarap tetap, ya mesti dong yang gak punya lahan pindah ke kota...

Nah, Desember ini juga masih menyisakan masalah yang setiap tahunnya itu-itu aja. Desember adalah bulan basah. Kita
selalu bawa sandal jepit agar sepatu gak basah, tali jemuran cepat kendor karena selalu penuh baju cucian atau kadang baju kita agak bau apek karena gak kering maksimal udah kita pakai. Kita juga agaknya sudah lupa kalau tahun kemarin selalu menguras air akibat banjir, selalu terpaksa lama di kantor karena hujan jelas bikin macet, selalu ada berita satu desa terendam dan selalu ada iklan layanan masyarakat tentang mereka.

Selalu ada pertanyaan, kenapa selalu banjir? Beribu jawaban pasti itu-itu melulu...Kita tidak disiplin, buang sampah sembarangan, bangun rumah di tepi sungai, jarang kerja bakti bersihkan selokan atau gorong-gorong. Tapi gak ada yang nanya, kenapa kalau bikin rumah di tepi sungai gak dilarang tapi selalu ditarik pajak, selalu ada meteran PLN. Sama kayak PKL, abis ditarik duit trus diusir...Kenapa gak ditanya pembangunan gedung-gedung yang melibas resapan air...Coba deh kita main ke perumnas kelas menengah bawah, apakah pembangunan selokannya sudah sesuai...lebarnya berapa, dalamnya berapa, diukur gak ketinggiannya agar air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah...

Ya itulah...semua sama saja karena kita selalu tidak pernah memikirkan apa yang terjadi apabila bulan Desember datang, lantas Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember lagi. Maksudku mimikirkan segala sesuatu agar aku gak menulis curhat di blog ini.

Thursday, November 09, 2006

Sisa Sisa Lebaran


Tak terasa kita sudah meninggalkan bulan suci umat Muslim: Ramadhan. Bulan sejuta berkah secara vertikal dan bulan sejuta masalah secara horisontal. Di Indonesia, mayoritas adalah umat muslim yang belum seluruhnnya mempunyai keseimbangan dalam memaknai ajaran religi yang dianutnya. Ada yang menjalankan kehidupannya dengan mengimplementasikan garis horisontal dan vertikal secara seimbang, ada yang cenderung selalu vertikal ada pula yang fanatik horisontal.

Setiap bulan suci tiba, di beberapa tempat dipasang spanduk gedhe-gedhe “Hormatilah Yang Berpuasa” atau ada juga yang mengeluarkan biaya tambahan untu membeli kain agar warungnya tertutup dan pembeli tidak malu untuk makan. Yang tidak beruntung banyak juga karena disapu bersih oleh sebagian masyarakat yang menganggap hal itu adalah melecehkan bulan suci. Istilah kerennya “kena sweeping!”. Pokoknya selama Ramadhan ada sebagian kebiasaan berubah. Semua aktifitas yang berhubungan dengan maksiat harus hilang sementara.

Agak aneh juga sih, karena aku masih ingat ketika guru ngajiku pernah mengingatkan bahwa menjalankan ibadah adalah hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan. Menjalankan ibadah puasa adalah untuk diriku sendiri, menjadi urusanku sendiri dengan Tuhanku dan bukan untuk orang lain walaupun itu adalah ibuku. Aku yakin dan akan lebih bermartabat apabila godaan datang bertubi-tubi ketika aku menjalankan ibadah puasaku. Makanya agak geli juga lihat spanduk-spanduk yang minta menghormati orang berpuasa. Sebetulnya ini sih,masalah pilihan. Enak mana, mendapat kehormatan dari manusia atau dari Allah SWT….

Emang sih, setiap ramadhan suasana jadi agak lain. Kemacetan terjadi sebelum bedug maghrib, banyak warung tertutup, masjid selalu penuh baik untuk sholat maupun untuk numpang tidur di siang hari, tayangan TV banyak berubah, konsep beriklan disesuaikan, busana muslim laku keras, artis banyak yang tobat, buka bersama jadi agenda rutin, lokalisasi hampir pasti dilarang jualan. Ada juga yang menumpang kesakralan Ramadhan dengan jualan janji ke seluruh pondok pesantren. Minta doa restu dan berharap agar Pemilu nanti jangan lupa memilih kelompoknya.

Menjelang berakhirnya Ramadhan hingga Lebaran tiba, masyarakat sibuk lagi. Ada perang diskon dimana-mana tapi ada pula yang mati-matian menaikkan tarif. Terminal jadi penuh, pelabuhan jadi sesak, bandara jadi pasar. Segala konsep pemasaran disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat menyambut Lebaran. Mudik membawa berkah bagi pedagang. Karena mudik adalah acara kangen-kangenan sekaligus unjuk gigi tentang keberhasilan, maka menjadi hal biasa bagi kaum urban yang tadinya berangkat bermodal cangkul bisa pulang menggenggam handphone.

Hubungan horisontal emang rentan dengan masalah yang kita bikin sendiri. Yang tadinya berharap lebaran adalah merayakan kemenangan bersama-sama jadi sedikit terganggu karena hari lebaran jatuhnya nggak kompak. Ini bukan yang pertama dan kita gak kapok-kapok. Demokratisasi dan saling menghormati jadi tameng bagi penentu kebijakan untuk tidak mengaku bersalah. Februari yang punya 28 hari aja bisa dihitung. Gerhana matahari atau bulan yang akan datang aja bisa kita hitung. Kalender 2007 aja sudah bisa dicetak. Pelajaran tentang astronomi sudah begitu maju, tapi kenapa hal ini bisa terjadi. Sangat memprihatinkan.

Penentuan kapan Ramadhan berakhir dan kapan harus merayakan Lebaran adalah hal yang sepele. Allah Mahaadil, Mahabijaksana, Mahapemaaf, Mahasegalanya. Apabila kita salah dan minta maaf dengan serius pasti Dia Mengampuni. Tetapi yang terjadi adalah kebingungan umat karena para pemimpinnya senang bikin orang bingung. Hal mudah dibikin repot menjadi biasa. Sekali lagi, sifat egois dan menomorsatukan kekuasaan masih susah dibuang.

Kita sih sadar, abis lebaran ini masyarakat pasti udah lupa. Setelah kembali ke bulan yang tidak “suci”, kita juga dengan rela melupakan semua kejadian tolol tersebut. Yang penting udah bisa mudik, pakai baju baru, kangen-kangenan dan kembali rutinitas kehidupan dengan terus berharap tahun depan bisa ketemu lagi dengan bulan suci Ramadhan dan berlebaran bersama-sama. Wah, kalau begini terus kita nggak lama lagi jadi bangsa yang goblok nih…(atau mungkin udah ya!!!!)