sate..sateee....(renungan Idul Adha 2006)
Idul Adha masih membekas di benakku ketika aku ngobrol ama teman satu timku, menjelang pulang kantor. Dan aku jadi ingat kejadian seminggu yang lalu. Tepat Idul Adha dirayakan....
Pulang dari rumah mertuaku sekitar jam sepuluh malam, aku langsung ke meja belakang sambil melepas sepatu. Ada meja bundar dan 2 kursi gaya betawi pemberian temanku. Biasanya keponakan istriku yang mengasuh anakku atau Mbak Senah, yang membantu bersih-bersih rumah paruh waktu, meletakkan Kompas atau surat apa saja buat aku.
Di tumpukan Koran, aku temukan selembar kertas ber-kop surat Panitia Idul Adha, Dewan Keluarga Masjid Al-Ikhlas. Masjid yang paling dekat rumah dimana anakku belajar mengaji tiap Selasa, Kamis dan Jumat. Rupanya, kertas itu adalah surat Tanda Terima Qurban dari panitia.
Salah seorang yang membantu rumah tanggaku adalah Pak Madi, warga kampung sebelah yang telah lama kenal dengan aku sejak aku dan istriku sepakat beli rumah. Dialah yang merawat rumah sebelum direnovasi. Rupanya dialah yang mengantar surat itu hingga tergeletak di meja belakang, karena aku beli kambingnya juga dari dia dan Pak Madi pula yang mengantar kambing ke Masjid dekat rumah.
Di atas surat tersebut, tertera keterangan nama lengkap anakku sebagai yang ber-qurban, alamat lengkap, jumlah biaya pemeliharaan dan pemotongan, distribusi, sampai nama yang menyerahkan dan yang menerima. Tetapi yang paling menggangu hatiku adalah pernyataan dibawah nama, alamat dan lain-lain, tertera kolom DAGING YANG DIMINTA (tentunya oleh yang ber-qurban), lengkap isian multiple choice mulai dari daging, hati, paru, usus, babat dll. (kok yang enak-enak ya...)
Sejuta pertanyaan langsung memenuhi benakku, apa maksud kolom itu dituliskan. Aku baru saja baca wawancara seorang Kiai dari Jawa (aku lupa namanya dan dari Pondok Pesantren mana) di internet lewat salah satu situs "islam". Dan juga sempat aku baca di situs myquran.com bahwa hakikat Idul Adha pada dasarnya adalah menuju keadilan sosial yang sebenar-benarnya. Memang agak klise kalau dihubungkan dengan konteks Indonesia saat ini, tapi masih terlihat sepotong harapan untuk menuju kesana. Why not? Kalau emang muslim Indonesia serius.
Emang sengaja aku cari informasi tentang makna kurban untuk “creative input” Iklan Layanan Masyarakat tentang Idul Adha. Yang kemudian aku sharing dengan salah seorang anak buahku yang kebetulan udah berhaji dan bijaksana. Aku baru saja diskusi sama dia bahwa fenomena Idul Adha di Indonesia masih seputar tusuk sate dan gulai. Bisa nggak sih, kita kasih pesan ke masyarakat bahwa sesungguhnya bukan seperti itu. Memang PSA hasil karyanya kurang membumi konsepnya atau mungkin karena agak berhati-hati mengkritisi petinggi agama sehingga hanya tersirat beberapa kata-kata retoris. Sesoleh Ibrahim, Setaat Ismail dan Seikhlas Muhammad. Lantas dimana posisi kita?....
Lepas dari itu, aku masih terganggu dengan surat tanda terima tersebut. Tapi aku akan mencari tahu apakah hal tersebut dibenarkan atau tidak. Aku akan menggaris bawahi bahwa semua itu tergantung konteks kekinian.
Berkurban dengan menyembelih ternak yang merupakan tradisi simbolik Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail harus diposisikan sebagai suatu nilai tauhid yang harus diimplementasikan terhadap masalah horizontal yang tak pernah putus. Peringatan Idul Adha bukan acara ritual yang mempertontonkan kekayaan walaupun nantinya dinikmati fakir miskin. Kuantitas dan kualitas hewan ternak bukan ukuran diterima atau tidaknya amal kita oleh Allah SWT.
Kalau membaca dan melihat berita di berbagai media, betapa masyarakat miskin Indonesia masih berceceran dimana mana. Kenapa kita tidak berani mencoba untuk bersifat lebih fleksibel mempersiapkan peringatan Idul Adha dengan meninggalkan cara-cara lama dan mencoba menggunakan cara baru yang disesuaikan dengan konteks kekinian.
Katakanlah apabila masih dipertahankan ritual potong ternak, di berbagai masjid atau tempat apapun, hewan ternak tidak usah disembelih semuanya tetapi cukup diuangkan saja. Maka akan menghasilkan hitungan matematis seperti misalnya kalau jumlah orang yang mampu berkorban sebanyak 1 juta jiwa dan harga satu ekor kambing Rp. 800.000 maka sudah bisa dibagikan ke orang miskin sebanyak 8 juta jiwa apabila masing-masing memperoleh Rp. 100.000. Pertanyaannya adalah masak sih yang mampu berkorban Cuma 1 juta jiwa? Dan tentunya pasti ada komentar, oh itu kan urusan pemerintah…
Diskusinya akan jadi seperti ayam atau telur apabila tidak dibatasi dengan acuan bahwa “bagaimana merubah konsep baru tentang berbagi dengan tidak menyembelih ternak seratus persen agar nilai-nilai keadilan sosial bisa terlaksana”. Tentunya banyak yang menjawab bahwa lembaga-lembaga resmi maupun swasta sudah mengelola distribusi kurban dengan baik. Tetapi tentunya pula, lembaga-lembaga tersebut hanya bekerja setahun sekali. Setelah itu, nunggu tahun depan lagi. Sama seperti kop-surat Panitia Idul Adha di masjid dekat rumahku yang tahunnya cuma tertulis 14 titik-tik Hijriyah, agar tahun depan tidak usah mencetak lagi.
Ya sudahlah, mungkin ini bagian dari proses menjalani hidup di negara yang sangat majemuk, walau aku punya niat untuk mengimplementasikan sedikit usulan ini di lingkungan yang paling kecil,...aku mau ngobrol ama pak RT tentang niat ini. Kita gak usah nunggu pemerintah atau lembaga lainnya yang akan melahirkan berbagai bentuk birokrasi.
Lantas, aku coba aja jadi penyair he...he....he....seperti di bawah ini:
Idul Adha 2006
Ibrahim melakukan perbuatan keji
kala kita mengingkari hakikat kurban yang sesungguhnya
Ismail menjerit kesakitan
saat manusia hanya memikirkan arang dan gulai
masjid dan surau menjadi tempat pembantaian
ketika yang berpunya memikirkan hati dan ampela
betapa kasihan muslim nusantara
hanya bisa berbagi setahun sekali
kambing, unta atau pun sapi
hewan lucu yang tak layak mati
karena fakir miskin lebih memilih makan tiap hari
0 Comments:
Post a Comment
<< Home