Inul Daratista: Si Menthul Yang Tersiksa
Lagi lagi, berita Inul jadi marak. Setelah gak terdengar kabar beritanya dan adem ayem menikmati hari hari indah bersama keluarga dengan segala hasil jerih keringatnya, perempuan Pasuruan ini kembali menjadi komoditi media. Tentang apa? Agak basi sih...tentang sesuatu yang berhubungan dengan equilibirium, tentang sesuatu yang hitam putih, yang bikin balance dinamika hidup ini.
Kalau mau dikait-kaitkan dengan berita "heboh" akan terbitnya majalah Playboy Indonesia, mungkin ada seutas benang merah yang saling menguntungkan. Dulu, kata guru biologi kita itu adalah simbiosis mutualisme he..he..he...Yang jelas, berita-berita "ringan" emang selalu enak dinikmati. Mulai dari kawin cerai selebs, om Jackson yang kena pelet (ngakunya) Cut Memey (kata teman-teman namanya sih menjurus he...he...he..), sampai pro kontra artis-artis dangdut tentang batas-batas aurat dan syahwat. Berita yang lain, kenapa BBM naik, kenapa kita miskin sampai kenapa ada bakso tikus tentunya bikin beban pikiran kita jadi tambah berat...ujung-ujungnya kita pasti cari paramex.
Perasaan senasib baik secara fisik atau bukan emang melahirkan kelompok atau gerombolan yang kemudian diberi label tertentu. Baik buruk label itu tergantung dari isi masing-masing kelompok yang kemudian kita diberi keleluasaan untuk memilih (seperti pertanyaan saat ujian kenaikan kelas) apakah kelompok itu menurut kita baik, buruk, setengah baik, setengah buruk, sama-sama baik atau buruk, atau yang satu baik asal....yang satu buruk jika....
Lantas, dimanakah posisi Inul serta artis dangdut lainnya yang dibilang jorok dan dimana pula posisi wak Haji Oma serta jamaahnya yang dibilang tak seronok? Terserah... sak karepmu!!! yang jelas posisi media lah yang paling menentukan untuk menawarkan pilihan tersebut ke masyarakat, karena katanya mass media merupakan salah satu agen perubahan (walaupun harus kita batasi mass media apa dan yang mana nih...!!!).
Dua kubu yang berseteru tentunya sadar apabila segala pernyataan dan perbuatan yang dimakelari media untuk kemudian dikonsumsi masyarakat, akan menjadi suatu stigma tersendiri apakah mereka dapat nilai plus atau malah sebaliknya. Kita tentunya bisa menyikapi dengan nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat, apabila ada salah satu kubu yang dianggap bertentangan dengan nilai atau norma yang telah disepakati oleh golongan tertentu tentunya sah-sah saja, demikian juga apabila kubu yang lain dianggap sok suci dan sok yakin akan masuk "surga" ya juga sah-sah saja.
Tapi mudah-mudahan saja mereka gak lupa, seperti kata guru biologi, bahwa sebetulnya terjadi simbiosis mutualisme. Sama-sama diuntungkan karena dengan berita "ringan" itu, popularitas tetap eksis sementara mereka juga sadar atau mungkin tidak, bahwa mereka juga telah menjadi komoditi media untuk kepentingan tertentu. Tentu saja, oplah dan rating yang bermuara pada duit dan duit.
Hanya saja, apabila melihat berita-berita semacam itu, ada sebersit keprihatinan bahwa apa pun yang telah terjadi dan diberitakan oleh media merupakan cerminan bangsa kita yang sampai saat ini masih juga belum beranjak. Banyak public figure yang dengan yakin dan bangganya menganggap semua pernyataannya akan membawa suatu kemajuan berarti bagi kehidupan bangsa kita. Menggebu-gebu meneriakkan kebajikan, sementara di kanan-kirinya masih banyak orang menadahkan tangannya karena kelaparan. Kenapa ya?...mungkin mereka lupa bahwa ternyata apa pun pernyataannya tetap saja didasari oleh kebutuhan yang paling dasar yaitu kekuatiran struktural. Takut dengan perubahan yang cepat atau lambat akan menggeser periuk nasi mereka, cepat atau lambat akan menurunkan posisi "wueenaaak" yang selama mereka genggam. Kalau bisa, hanya kematianlah yang akan mendepak peran dan posisi mereka dengan catatan kalau bisa sih harus dikenang sepanjang masa dengan sejuta kenangan indah.
Sementara itu, sebagian besar masyarakat lainnya masih saja berseri-seri kala menikmati berita "ringan" selebriti atau pencuri yang mati. Mending menikmati berita selebriti daripada kasus korupsi, toh bebas juga nanti. Mending melahap berita hangat daripada mikirin ongkos sekolah yang semakin menyengat. Tugas utama rakyat adalah membayar dan memberi, kayaknya sih sudah hampir menjadi nasib. Wak haji Oma pernah bernyanyi yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin...sayangnya, kenapa kok dinyanyikan sehingga kesannya gak serius...bikin orang joget! Kenapa gak dilontarkan dalam bentuk verbal yang sebenar-benarnya yang kemudian dirumuskan dalam bentuk aktifitas menggayang kemiskinan....kenapa eh kenapa (ini juga salah satu bait di lagu wak haji Oma judulnya "haram", yuk kita nyanyi rame-rame...)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home