keatz

Friday, March 31, 2006

Pangeran Remot


Kotak ajaib itu emang dahsyat! Cerita komik silat Kho Ping Ho yang selalu kusut itu, harus kita bayangkan dulu bagaimana tampang para pendekarnya. Novel tentang jagoan Nick carter yang halaman favoritnya selalu raib ketika kita pinjam juga harus kita bayangkan kejantanannya. Lantas, ketika kita terjebak dan mendengarkan cerita bersambung Brama Kumbara di radio, kotak ajaib yang lahir duluan, kita dipaksa berimajinasi tentang kesaktian dan juga kegenitan Mantili, sang pendekar perempuan. Nah, setelah tahu apa yang disebut pesawat televisi, kita terpaksa mengakui bahwa betapa noraknya kita.

Kotak ajaib itulah yang bikin kita dapat berkah sekaligus berdosa. Siapa yang yakin kalau penciptanya (kita sebut saja Constantin Perskyl, yang nemuin istilah TV) sekarang berada di antara surga-neraka? Tunggu saja sampai akhir jaman pasti akan diadakan voting jumlah suara, siapa yang merasa dapat berkah dan siapa pula yang merasa itu dosa. Ada grey area disitu, suatu lokasi yang digemari para politisi Indonesia karena area kebimbangan itulah yang bisa dibikin main-main, lantas ujungnya adalah duit semata.

Dulu, punya tv merupakan salah satu alat menaikkan derajat tapi juga siap-siap kehilangan ruang pribadi. TV harus diletakkan di ruang tamu dan pintu depan harus selalu terbuka. Dulu, anak-anak yang baru bisa baca selalu bilang “abis maghrib kita nonton turi…” (maklum…logo TVRI kebacanya TURI). Setelah Dunia Dalam Berita, penonton beringsut pamit dan akhirnya kotak ajaib itu ditutup taplak meja bermotif batik, setelah pemiliknya ngantuk. Itu dulu.

Lima belas tahun sudah, setelah TVRI sudah tergerus jasanya dan kini semakin jayanya apa yang disebut remote control hingga setiap tombolnya merasa sangat tertekan karena selalu ditekan. TV adalah raja dan remot adalah sang pangeran. Semakin pangeran beranjak dewasa semakin berat pula beban yang harus dipikulnya. Baru bisa beristirahat kalau ada apa yang disebut sebagai TV pool atau siaran bersama. Lebih happy lagi kalau listrik mati, atau baterei yang harus diganti.

Jangan bicara soal apa saja yang ditayangkan dari berbagai merk stasiun tv, mari bicara soal salah apa kotak ajaib itu hingga anggota dewan begitu sibuk bikin rancangan undang-undang hingga untuk sementara kita lupa gaji mereka atau bahkan memaklumi tuntutan kenaikan gaji walaupun mungkin mereka tidak mendengar dan melihat salah satu saudaranya terjahit mulutnya. Kalau udah begini, yang diomongin pasti soal moral dan nilai-nilai….(berat juga nih!!!). Ada yang bilang tv adalah berhala baru sementara yang lain menganggap tv adalah teman tapi mesra (udah pasti yang satu ini, yang cari makannya dari tv dong...siapapun!)

Moral, etika atau sejenisnya yang bikin kotak ajaib tertuduh menjadi salah satu biang kemerosotan bangsa karena acara-acara yang dianggap menampilkan hal-hal yang tabu dan langsung bisa dinikmati. Tapi tunggu dulu, tentunya kita mungkin heran kenapa kok masalah pornografi dan pornoaksi begitu bergema ketimbang masalah kemungkinan ancurnya geografi Indonesia atau aksi-korupsi. Kenapa masalah porno begitu gampang dicerna dibanding masalah blok Cepu atau Freeport atau juga bobroknya organisasi sepakbola di negeri ini.

Ternyata jawabannya ada di berbagai butik, mal, pabrik garmen dan tukang jahit di seluruh negeri ini. Jawabannya adalah karena kita berpakaian. Atau tepatnya cara kita berpakaian. Cara adalah suatu kegiatan yang dilakukan karena kebiasaan turun temurun yang kadang tidak kita sadari menjadi bagian dari hidup kita. Pantas aja masalah ini gampang dicerna dan gak ruwet-ruwet amat, karena kita bisa dengan gampang membayangkan visualisasi dari bentuk tubuh diri kita sendiri maupun orang lain. Tanpa ada tv sekalipun, gampang.

Nah, yang menjadi ruwet adalah karena kita hidup di Indonesia dengan berbagai budaya. Berbagai cara, ribuan kebiasaan dan berjuta permasalahan sudah membentuk Indonesia menjadi negara Bhinneka Tunggal Ika. Satu kalimat yang selalu menjadi bahan pertanyaan di saat ujian SD dulu…Mungkin, itulah sebabnya para anggota dewan nggak bisa mengesahkan rancangan undang-undang tersebut.

Memang berat,…betapa egoisnya kita apabila selalu menuruti dan mengukur sesuatu dengan cara serta kebiasaan kita sendiri tanpa mempedulikan yang lain. Sama beratnya dengan tugas Pangeran Remote Control yang selalu tertekan ketika jeda iklan berlangsung karena penonton tv kebingungan dengan banyaknya acara bagus secara bersamaan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home