keatz

Monday, January 23, 2006

SAMPAHKU SAMPAHMU !


Sampah. Segala sesuatu yang tidak diinginkan, sesuatu yang dianggap tidak berharga. Sepele tapi menyulitkan. Jorok tapi mengancam. Semua pernyataan di atas emang dari sisi pandang mayoritas yang udah keburu menyepakati. Di sisi lain, secara empirik, bisa jadi sampah merupakan lahan sandang pangan untuk mendapatkan sesuatu yang "bersih" dan juga menempatkan suatu status/posisi tertentu yang walau pun sangat dibutuhkan, tetap saja terlempar ke sisi marjinal. Ada beberapa profesi yaitu tukang sampah, pemulung sampah sampai pedagang sampah.

Tukang sampah adalah seseorang yang bekerja membersihkan sampah, pemulung adalah seseorang yang bekerja mencari sesuatu dari sampah yang dikumpulkan tukang sampah (kadang menjadi pengganggu, karena mengobrak-abrik sampah yang telah dikumpulkan kemudian setelah ketemu barang yang diinginkan, ditinggal begitu saja). Lantas, pedagang sampah yaitu seseorang yang bekerja sebagai tukang tadah sampah-sampah tertentu untuk kemudian diolah lagi untuk dijual. Biasanya sih, kalau mau keren, disebut sampah non organik...

Sebenernya, sampah banyak digolongkan ke berbagai macam bagian. Ada sampah yang tak terlihat seperti gas, yang orang pinter bilang itu "emisi" yang kemudian dikaitkan dengan term "polusi", tapi disini yang kita gosipin adalah sampah konsumsi manusia atau sampah manusia, bukan sampah industri atau sampah nuklir.

Nah, balik ke tukang sampah dan kerabatnya seperti yang udah diceritain di atas. Mereka seperti rantai makanan yang tak pernah putus, mereka selalu bergelinjang menghadapi waktu. Hanya saja, "status sosial" saja yang bikin tukang sampah atau pemulung beda dengan pedagang sampah. Mereka sama-sama mencoba bertahan hidup yang tentunya dengan standar masing-masing. Tinggal pilih, siapa yang ditunggangi atau siapa yang menunggangi. Sederhana saja, pedagang sampah kalau sudah sukses tentunya tidak akan peduli lagi tukang sampah bekerja atau tidak dan cuek saja apabila pemulung setor sampah atau tidak. Dia yang bermodal bisa bikin apa saja untuk kembali "bertahan hidup" dan pedagang sampah lain akan menggantikannya.

Sementara tukang sampah dan pemulung? Tergantung nasib....garing banget gak sih komentar itu!!! Dari sekian berita-informasi yang pernah dicetak maupun ditayangkan, sebagian besar usia tukang sampah emang sudah udzur. Yang terakhir termuat di media adalah tersambarnya tukang sampah oleh mobil hingga wassalam di jalan tol. Usianya udah 50 tahunan, usia yang seharusnya sudah menuai bekal hidup. Kenapa ya?...Ada yang bilang itu nasib (kita biasanya hanya bisa mengasihi, mendoakan...kata kerja yang tak tampak), ada yang bilang miskin struktural (kita bisa berhari-hari kalo membicarakan hal ini, sampai mulut sariawan pun gak bakal tuntas...kalo ada pakar yang pinter, dia bikin buku lantas dijual walaupun tanpa ada solusi yang signifikan). Aaaarghhh, sudahlah...

Jaman dulu, jaman bapakku, ketika rumah masih berhalaman. Di belakang rumah ada pekarangan dan sengaja dibikin lobang khusus untuk membuang sampah. Kemudian dibakar. Beres. Seingatku gak ada iuran sampah dan keamanan. Tukang bersih sampah atau pemulung hanya ada di pasar dan ketika ada pasar malam. Mungkin, sekarang masih ada di beberapa tempat seperti dulu aku bergumul dengan masa kecil yang menurutku indah.

Pertanyaannya adalah kapan kita bisa bener-bener menghargai tukang sampah untuk tidak dijadikan hanya sekedar obyek yang kita sedekahi di hari-hari tertentu. Tapi menjadikannya sebagai partner dan sebuah kenyataan bahwa kita emang perlu, emang kita butuh mereka. Yang jelas, kita tetap tak bisa dan tak butuh dengan apa yang disebut sampah masyarakat....

Friday, January 20, 2006

Inul Daratista: Si Menthul Yang Tersiksa


Lagi lagi, berita Inul jadi marak. Setelah gak terdengar kabar beritanya dan adem ayem menikmati hari hari indah bersama keluarga dengan segala hasil jerih keringatnya, perempuan Pasuruan ini kembali menjadi komoditi media. Tentang apa? Agak basi sih...tentang sesuatu yang berhubungan dengan equilibirium, tentang sesuatu yang hitam putih, yang bikin balance dinamika hidup ini.

Kalau mau dikait-kaitkan dengan berita "heboh" akan terbitnya majalah Playboy Indonesia, mungkin ada seutas benang merah yang saling menguntungkan. Dulu, kata guru biologi kita itu adalah simbiosis mutualisme he..he..he...Yang jelas, berita-berita "ringan" emang selalu enak dinikmati. Mulai dari kawin cerai selebs, om Jackson yang kena pelet (ngakunya) Cut Memey (kata teman-teman namanya sih menjurus he...he...he..), sampai pro kontra artis-artis dangdut tentang batas-batas aurat dan syahwat. Berita yang lain, kenapa BBM naik, kenapa kita miskin sampai kenapa ada bakso tikus tentunya bikin beban pikiran kita jadi tambah berat...ujung-ujungnya kita pasti cari paramex.

Perasaan senasib baik secara fisik atau bukan emang melahirkan kelompok atau gerombolan yang kemudian diberi label tertentu. Baik buruk label itu tergantung dari isi masing-masing kelompok yang kemudian kita diberi keleluasaan untuk memilih (seperti pertanyaan saat ujian kenaikan kelas) apakah kelompok itu menurut kita baik, buruk, setengah baik, setengah buruk, sama-sama baik atau buruk, atau yang satu baik asal....yang satu buruk jika....

Lantas, dimanakah posisi Inul serta artis dangdut lainnya yang dibilang jorok dan dimana pula posisi wak Haji Oma serta jamaahnya yang dibilang tak seronok? Terserah... sak karepmu!!! yang jelas posisi media lah yang paling menentukan untuk menawarkan pilihan tersebut ke masyarakat, karena katanya mass media merupakan salah satu agen perubahan (walaupun harus kita batasi mass media apa dan yang mana nih...!!!).

Dua kubu yang berseteru tentunya sadar apabila segala pernyataan dan perbuatan yang dimakelari media untuk kemudian dikonsumsi masyarakat, akan menjadi suatu stigma tersendiri apakah mereka dapat nilai plus atau malah sebaliknya. Kita tentunya bisa menyikapi dengan nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat, apabila ada salah satu kubu yang dianggap bertentangan dengan nilai atau norma yang telah disepakati oleh golongan tertentu tentunya sah-sah saja, demikian juga apabila kubu yang lain dianggap sok suci dan sok yakin akan masuk "surga" ya juga sah-sah saja.

Tapi mudah-mudahan saja mereka gak lupa, seperti kata guru biologi, bahwa sebetulnya terjadi simbiosis mutualisme. Sama-sama diuntungkan karena dengan berita "ringan" itu, popularitas tetap eksis sementara mereka juga sadar atau mungkin tidak, bahwa mereka juga telah menjadi komoditi media untuk kepentingan tertentu. Tentu saja, oplah dan rating yang bermuara pada duit dan duit.

Hanya saja, apabila melihat berita-berita semacam itu, ada sebersit keprihatinan bahwa apa pun yang telah terjadi dan diberitakan oleh media merupakan cerminan bangsa kita yang sampai saat ini masih juga belum beranjak. Banyak public figure yang dengan yakin dan bangganya menganggap semua pernyataannya akan membawa suatu kemajuan berarti bagi kehidupan bangsa kita. Menggebu-gebu meneriakkan kebajikan, sementara di kanan-kirinya masih banyak orang menadahkan tangannya karena kelaparan. Kenapa ya?...mungkin mereka lupa bahwa ternyata apa pun pernyataannya tetap saja didasari oleh kebutuhan yang paling dasar yaitu kekuatiran struktural. Takut dengan perubahan yang cepat atau lambat akan menggeser periuk nasi mereka, cepat atau lambat akan menurunkan posisi "wueenaaak" yang selama mereka genggam. Kalau bisa, hanya kematianlah yang akan mendepak peran dan posisi mereka dengan catatan kalau bisa sih harus dikenang sepanjang masa dengan sejuta kenangan indah.

Sementara itu, sebagian besar masyarakat lainnya masih saja berseri-seri kala menikmati berita "ringan" selebriti atau pencuri yang mati. Mending menikmati berita selebriti daripada kasus korupsi, toh bebas juga nanti. Mending melahap berita hangat daripada mikirin ongkos sekolah yang semakin menyengat. Tugas utama rakyat adalah membayar dan memberi, kayaknya sih sudah hampir menjadi nasib. Wak haji Oma pernah bernyanyi yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin...sayangnya, kenapa kok dinyanyikan sehingga kesannya gak serius...bikin orang joget! Kenapa gak dilontarkan dalam bentuk verbal yang sebenar-benarnya yang kemudian dirumuskan dalam bentuk aktifitas menggayang kemiskinan....kenapa eh kenapa (ini juga salah satu bait di lagu wak haji Oma judulnya "haram", yuk kita nyanyi rame-rame...)

Thursday, January 19, 2006

dari Yopie Hidayat


Cuplikan ini aku ambil dari situs tetangga yang kebetulan memuat tulisan kakak kelasku, seorang jurnalis asli yang kini mengelola Kontan, salah satu tabloid ekonomi terkemuka di Indonesia. Sedikitnya ada gambaran tentang kenapa sampai ada ibu-ibu yang ikhlas menjahit mulutnya dan kenapa wakil-wakil rakyat kita yang katanya budiman sampai saat ini pun terjahit mulutnya apabila melihat ribuan ketidakadilan di depan matanya atau juga kenapa David Nusa Wijaya yang ketangkep FBI sampai kabur dari Nusantara....

judulnya adalah Hikayat Orang Miskin Indonesia...silahkan menikmati.

Inilah kisah tentang persoalan negeri bernama Indonesia. Awal mulanya adalah ketika pemerintahan yang sudah berumur 32 tahun mencapai puncak kerapuhan. Para kawulanya sudah tidak percaya sehingga kejadian sepele sekalipun sudah cukup membentuk ular antrean panjang di depan kasir bank, untuk menarik uangnya.

Dan marilah bandingkan dengan apa yang terjadi di negeri bernama Argentina, sekarang ini, dengan Indonesia, masa 1997-1998:

Di Argentina pemerintah langsung membekukan semua simpanan di bank. Pokoknya bank dilarang buka. Akibatnya orang kaya yang punya uang banyak terpukul hebat. Mereka marah ; kekayaannya hilang. Orang-orang miskin juga marah karena uang mereka yang sedikit juga hilang. Tapi apalah artinya menjadi sedikit lebih miskin. Penderitaan orang yang tadinya kaya raya lalu tiba-tiba menjadi miskin tentu lebih menyakitkan daripada penderitaan orang miskin yang menjadi sedikit lebih miskin lagi.

Yang jelas, karena orang kayanya marah maka gerakan politik marak. Pemerintahan berkali-kali ganti tanpa ada solusi. Sementara orang miskin yang marah cuma bisa menjarah. Ujungnya ya sama, penjarahan dan kekacauan merajalela sehingga menciptakan iklim, yang kemudian menyuburkan gerakan politik. Sampai sekarang masih kacau. IMF tak berdaya.

Indonesia lain. Pemerintah tak mau merugikan orang yang menyimpan uang di bank, dan langsung memutuskan jadi bandar yang menalangi segala simpanan. Ada yang namanya mekanisme penjaminan pemerintah yang intinya adalah: pokoknya semua uang yang ada di bank, semua tagihan apa pun yang ada di bank, berapapun jumlahnya, milik siapapun, akan dibayar kembali oleh pemerintah.

Kebijakan Indonesia membuat orang kaya terselamatkan. Mereka senang ; uangnya aman. Memang ada sedikit rusuh dan jarah menjarah, tapi semua orang juga tahu kalau ada bau rekayasa tentara di balik kerusuhan dan jarah menjarah itu.

Pada garis besarnya, orang miskin cuek bebek. Inilah cilakanya ; mereka cuek karena tidak tahu bahwa kebijakan ini sebenarnya bisa dirumuskan menjadi satu kalimat : 'pemerintah menyelamatkan orang kaya dengan keringat dan air mata orang miskin.'

Jaminan Untuk Konglomerat

Mengapa demikian? Begini. Dengan adanya jaminan dari pemerintah, maka terciptalah sebuah lubang besar bagi orang-orang kaya dan konglomerat pemilik bank untuk mengeruk duit gratis. Mereka ramai-ramai mengaku banknya mendapat masalah. Mereka mengaku nasabahnya ramai-ramai menarik simpanan. Pemerintah harus menalangi, karena sudah berjanji akan memberi jaminan atas segala tagihan yang ada di bank, siapapun yang punya, dan berapapun jumlahnya.

Maka mengucurlah duit-duit yang disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bahkan antar pemilik bank pun bikin kongkalikong. Dibikinlah tagihan antarbank, seolah-olah bank A punya tagihan pada bank B. Maka ketika bank A menagih dan bank B mengaku bokek, ya pemerintah dong yang bayar ---kan sudah ada jaminan tadi.

Inilah pesta pora bejat para orang kaya, yang nanti tagihannya akan dibayar oleh orang-orang miskin.

Ketika keadaan reda, pemerintah menagih pada pemilik bank. "Sampeyan harus tanggung jawab."
"Siap bapak, silakan sita aset-aset saya."

Dan aset-aset yang direlakan sepenuh hati itu aset-aset bodong karena dari dulu para bankir menarik duit rakyat untuk bikin proyek-proyek bodong. Selisih duitnya dikantungi. Jadi, para orang kaya bejat tadi mendapat untung mendadak dua kali.

Pertama mereka dapat duit BLBI. Kedua mereka bisa menyelesaikan persoalan dengan proyek-proyek bejat. Sebab pada suatu titik jelas kalau kredit-kredit yang disalurkan secara serampangan --dan umumnya untuk grup sendiri-- bakal macet. Mumpung keadaan lagi kacau balau, serahkan saja semua aset bodong tadi ke pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab. Beres.

Lebih dari itu --atas nama upaya penyehatan bank-- pemerintah juga mengumpulkan seluruh aset busuk di bank untuk dipool jadi satu. Sebagai gantinya pemerintah menerbitkan surat hutang dengan janji akan ada bunga yang akan dibayar setiap tahun. Bunga inilah yang menjadi darah bagi bank untuk hidup.

Oke, perbankan tidak ambruk. Ekonomi tidak rusuh. Tapi, pemerintah sekarang harus memikul aset bodong yang nilainya ditaksir tak lebih dari 20% dari total uang yang sudah dikeluarkan.

Kembali lagi ke orang miskin, karena tagihan atas kerugian ini nanti harus dibayar oleh orang-orang miskin. Padahal sebagian saham bank-bank yang ditolong itu, ternyata masih dimiliki oleh orang-orang kaya. Bedanya, dulu mereka mayoritas sekarang harus rela berbagi dengan pemerintah.

Subsidi Orang Miskin

Waktu pun lewat dan sekarang pemerintah mulai harus menunaikan kewajiban. Akibatnya, anggaran tersedot untuk menambal uang yang dulu dibayarkan ke bankir-bankir itu. Bunga obligasi untuk penyelamatan bank harus dibayar. Pemerintah terjebak sebuah masalah klasik: kehabisan duit, tidak punya cash flow yang cukup untuk menjalankan negara.

Solusinya: menunda membayar utang, memangkas pengeluaran yang bisa dipangkas --subsidi minyak, anggaran kesehatan, pendidikan, dan semua urusan yang diperlukan orang miskin-- atau mengutip jargon UUD 1945 ; menunda proyek-proyek yang berguna untuk hajat hidup orang banyak.

Yang paling cilaka adalah semua tarif pajak kalau sebisanya digenjot habis-habisan. Perusahaan negara diinstruksikan menaikkan penghasilan. Jadi jangan heran kalau tarif telepon, kereta api, kapal laut, hingga tarif berak di kakus terminal harus naik.

Kebijakan seperti ini tentu saja lebih memukul orang miskin ketimbang si kaya. Apalagi orang kaya tadi sudah terlebih dahulu mendapat kenikmatan dari penjaminan pemerintah, maupun pengucuran duit yang mengatasnamakan penyelamatan bank.

Jadi, sekarang orang miskin memang makin sengsara. Ssemua-semua jadi mahal. Nyaris tak ada lagi penyelenggaraan jaminan sosial oleh negara --darimana duitnya, wong pemerintahnya kesulitan cash flow).

Pajak makin digenjot tapi layanan publik makin menurun. Mari kita lihat empat fungsi dasar

Kesehatan? Pelayanan dasar yang diberikan puskesmas makin menurun. Orang miskin harus kian menderita dalam hal pelayanan kesehatan, sedangkanb orang kaya tidak perduli karena mereka masih mampu mencari dan membayar pelayanan pribadi yang kualitasnya sangat jauh lebih baik. Yang kelas Jaguar bisa terbang ke Singapura.

Keamanan? Semua orang di kompleks, di RT, di jalan besar tentu masih harus membayar iuran hansip atau satpam. Itupun harus rela diberikan tanpa ada jaminan bebas rampok. Pemerintah tak punya duit untuk mengongkosi polisi secara lebih layak. Walhasil polisinya korupsi.

Orang miskin punya cara sendiri untuk mengatasi keamanan. Ini mungkin barbar, tapi bisa menjadi hiburan alternatif --maklum satu-satunya hiburan paling-paling cuma nonton TV, yang lagi-lagi belum tentu sehat karena isinya lagi-lagi kelakuan busuk orang kaya di sinetron. Cara itu adalah membakar hidup-hidup penjahat teri yang tertangkap.

Harap maklum lagi, mereka memang tidak mengerti tentang penjahat kakap kaya raya yang sebenarnya membuat hidup mereka sengsara seperti sekarang ini.

Transportasi? Cobalah, naik mobil dari Jakarta ke Bandung, hancur lebur. Minimal lima enam jam, macetnya enggak ketulungan. Kalau mau agak nyaman bisa lewat tol, tapi ini harus bayar lagi --bukan pemerintah yang menyediakan. Orang kaya masih mampu lah bayar tol dan naik mobil sendiri. Coba bagaimana nasib orang miskin yang kini kian hancur-hancuran terhimpit pelayanan transportasi publik yang kian buruk. Nyawa menjadi kian murah.

Pendidikan? Amit-amit. Orang kaya bisa saja mengirim anaknya ke sekolah swasta atau ke luar negeri. Yang miskin terpaksa ke sekolah negeri yang sudah lama jadi sarang korupsi.

Nah, sudah jelas kan. Pemerintah kesulitan cash flow untuk menyelamatkan ekonomi (baca: orang-orang kaya). Bebannya kudu dipikul lebih berat oleh orang miskin.

Jadi, mana lebih enak solusi Argentina --semuanya jadi miskin hancur-hancuran-- atau solusi ala Indonesia yang orang kaya makin kaya, pejabat makin korup dan kaya, dan partai politik kian gendut kasnya. Lantas semua itu rekening tagihan dibayar oleh orang miskin, yang sekarangn ini untuk hidup sehari-hari saja sudah memikul beban yang lebih berat.

Maka marilah kita pekikkan; HIDUP ORANG MISKIN INDONESIA, yang sudah mensubsidi pejabat negara yang korup dan para orang kaya.

Eh, ngomong-ngomong kok jadi inget lagunya Ahmad Albar ya.
(kuambil gitarku lantas,) jreng-jreng-jreeeeng...
"dunia ini panggung sandiwara..."(mohon diteruskan, dan dihayati. terima kasih)

Wednesday, January 18, 2006

sate..sateee....(renungan Idul Adha 2006)


Idul Adha masih membekas di benakku ketika aku ngobrol ama teman satu timku, menjelang pulang kantor. Dan aku jadi ingat kejadian seminggu yang lalu. Tepat Idul Adha dirayakan....

Pulang dari rumah mertuaku sekitar jam sepuluh malam, aku langsung ke meja belakang sambil melepas sepatu. Ada meja bundar dan 2 kursi gaya betawi pemberian temanku. Biasanya keponakan istriku yang mengasuh anakku atau Mbak Senah, yang membantu bersih-bersih rumah paruh waktu, meletakkan Kompas atau surat apa saja buat aku.

Di tumpukan Koran, aku temukan selembar kertas ber-kop surat Panitia Idul Adha, Dewan Keluarga Masjid Al-Ikhlas. Masjid yang paling dekat rumah dimana anakku belajar mengaji tiap Selasa, Kamis dan Jumat. Rupanya, kertas itu adalah surat Tanda Terima Qurban dari panitia.

Salah seorang yang membantu rumah tanggaku adalah Pak Madi, warga kampung sebelah yang telah lama kenal dengan aku sejak aku dan istriku sepakat beli rumah. Dialah yang merawat rumah sebelum direnovasi. Rupanya dialah yang mengantar surat itu hingga tergeletak di meja belakang, karena aku beli kambingnya juga dari dia dan Pak Madi pula yang mengantar kambing ke Masjid dekat rumah.

Di atas surat tersebut, tertera keterangan nama lengkap anakku sebagai yang ber-qurban, alamat lengkap, jumlah biaya pemeliharaan dan pemotongan, distribusi, sampai nama yang menyerahkan dan yang menerima. Tetapi yang paling menggangu hatiku adalah pernyataan dibawah nama, alamat dan lain-lain, tertera kolom DAGING YANG DIMINTA (tentunya oleh yang ber-qurban), lengkap isian multiple choice mulai dari daging, hati, paru, usus, babat dll. (kok yang enak-enak ya...)

Sejuta pertanyaan langsung memenuhi benakku, apa maksud kolom itu dituliskan. Aku baru saja baca wawancara seorang Kiai dari Jawa (aku lupa namanya dan dari Pondok Pesantren mana) di internet lewat salah satu situs "islam". Dan juga sempat aku baca di situs myquran.com bahwa hakikat Idul Adha pada dasarnya adalah menuju keadilan sosial yang sebenar-benarnya. Memang agak klise kalau dihubungkan dengan konteks Indonesia saat ini, tapi masih terlihat sepotong harapan untuk menuju kesana. Why not? Kalau emang muslim Indonesia serius.

Emang sengaja aku cari informasi tentang makna kurban untuk “creative input” Iklan Layanan Masyarakat tentang Idul Adha. Yang kemudian aku sharing dengan salah seorang anak buahku yang kebetulan udah berhaji dan bijaksana. Aku baru saja diskusi sama dia bahwa fenomena Idul Adha di Indonesia masih seputar tusuk sate dan gulai. Bisa nggak sih, kita kasih pesan ke masyarakat bahwa sesungguhnya bukan seperti itu. Memang PSA hasil karyanya kurang membumi konsepnya atau mungkin karena agak berhati-hati mengkritisi petinggi agama sehingga hanya tersirat beberapa kata-kata retoris. Sesoleh Ibrahim, Setaat Ismail dan Seikhlas Muhammad. Lantas dimana posisi kita?....

Lepas dari itu, aku masih terganggu dengan surat tanda terima tersebut. Tapi aku akan mencari tahu apakah hal tersebut dibenarkan atau tidak. Aku akan menggaris bawahi bahwa semua itu tergantung konteks kekinian.

Berkurban dengan menyembelih ternak yang merupakan tradisi simbolik Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail harus diposisikan sebagai suatu nilai tauhid yang harus diimplementasikan terhadap masalah horizontal yang tak pernah putus. Peringatan Idul Adha bukan acara ritual yang mempertontonkan kekayaan walaupun nantinya dinikmati fakir miskin. Kuantitas dan kualitas hewan ternak bukan ukuran diterima atau tidaknya amal kita oleh Allah SWT.

Kalau membaca dan melihat berita di berbagai media, betapa masyarakat miskin Indonesia masih berceceran dimana mana. Kenapa kita tidak berani mencoba untuk bersifat lebih fleksibel mempersiapkan peringatan Idul Adha dengan meninggalkan cara-cara lama dan mencoba menggunakan cara baru yang disesuaikan dengan konteks kekinian.

Katakanlah apabila masih dipertahankan ritual potong ternak, di berbagai masjid atau tempat apapun, hewan ternak tidak usah disembelih semuanya tetapi cukup diuangkan saja. Maka akan menghasilkan hitungan matematis seperti misalnya kalau jumlah orang yang mampu berkorban sebanyak 1 juta jiwa dan harga satu ekor kambing Rp. 800.000 maka sudah bisa dibagikan ke orang miskin sebanyak 8 juta jiwa apabila masing-masing memperoleh Rp. 100.000. Pertanyaannya adalah masak sih yang mampu berkorban Cuma 1 juta jiwa? Dan tentunya pasti ada komentar, oh itu kan urusan pemerintah…

Diskusinya akan jadi seperti ayam atau telur apabila tidak dibatasi dengan acuan bahwa “bagaimana merubah konsep baru tentang berbagi dengan tidak menyembelih ternak seratus persen agar nilai-nilai keadilan sosial bisa terlaksana”. Tentunya banyak yang menjawab bahwa lembaga-lembaga resmi maupun swasta sudah mengelola distribusi kurban dengan baik. Tetapi tentunya pula, lembaga-lembaga tersebut hanya bekerja setahun sekali. Setelah itu, nunggu tahun depan lagi. Sama seperti kop-surat Panitia Idul Adha di masjid dekat rumahku yang tahunnya cuma tertulis 14 titik-tik Hijriyah, agar tahun depan tidak usah mencetak lagi.

Ya sudahlah, mungkin ini bagian dari proses menjalani hidup di negara yang sangat majemuk, walau aku punya niat untuk mengimplementasikan sedikit usulan ini di lingkungan yang paling kecil,...aku mau ngobrol ama pak RT tentang niat ini. Kita gak usah nunggu pemerintah atau lembaga lainnya yang akan melahirkan berbagai bentuk birokrasi.

Lantas, aku coba aja jadi penyair he...he....he....seperti di bawah ini:

Idul Adha 2006

Ibrahim melakukan perbuatan keji
kala kita mengingkari hakikat kurban yang sesungguhnya
Ismail menjerit kesakitan
saat manusia hanya memikirkan arang dan gulai
masjid dan surau menjadi tempat pembantaian
ketika yang berpunya memikirkan hati dan ampela
betapa kasihan muslim nusantara
hanya bisa berbagi setahun sekali
kambing, unta atau pun sapi
hewan lucu yang tak layak mati
karena fakir miskin lebih memilih makan tiap hari


Tuesday, January 17, 2006

it's a rainy day, babe!


Syarat hidup di Jakarta, selain harus kerja keras (puiiihh!!!) adalah melakukan niat sabar. Be patient, be patient and patient. Capable of persevering kata orang-orang bijak. Hanya saja untuk mencapai hal itu diperlukan latihan yang simultan dan niat yang signifikan...(kucoba untuk bermain dengan kata-kata itu agar dianggap intelektual ha..ha...ha...kayak kalimat-kalimat dalam berita di TV, padahal penikmat berita sebagian besar juga kagak tahu, he...he...jurnalis kan harus kelihatan pinter!!!).

Cobaan hidup hari ini adalah bersikap sabar, karena sejak subuh tadi hujan menguyur hampir seluruh tanah Betawi. Akibatnya, sudah menjadi tradisi, jalanan menjadi mampet kayak lendir putih yang senang ngendon di rongga hidung kita. Orang-orang HRD di kantor pun bersiap-siap kompromi, karena sebagian dari mereka juga jadi korban. Genangan air dikit aja, udah bikin antrian panjang dan berbuah raungan klakson di sana-sini.

Jalanan udah menjadi rimba raya tak bertuan, dan hanya karena beberapa orang yang bisa mengendalikan diri arus lalu lintas sedikit lancar jaya. Setan-setan jalanan yang menguber setoran tetep saja menikmati hari-harinya dengan berbekal seonggok mobil besar berkarat yang baginya tak mungkin mobil lain menyakiti. Sumpah serapah pun gak ada gunanya karena siapa tahu para setan jalanan udah jadi gadgeters dengan mengkredit ipod he...he....sinis banget sih!!!

Ruas dan lebar jalan tetap seperti dulu, kendaraan semakin berlimpah. Avanza, Xenia, Jazz udah kayak kacang goreng. Sementara Hijet 55 masih saja ada. Ada uang ada barang. Kebutuhan semakin meningkat berjalan paralel dengan gengsi dan bujuk rayu salesman. Sudahlah gak usah dibahas kenapa hal ini bisa terjadi di negeri tercinta ini. Anggap saja ini suatu takdir yang menghiasi jalan hidup sampai akhir nanti.

Di tengah perjalanan menembus kemacetan dan menguji kesabaran, ada juga pihak yang diuntungkan. Dering hp atau sms masuk menjadi klangenan...."sampai dimana? Gila nih, dari tadi kita berhenti-ti-ti disitu macet nggak?..." atau....aku kn mct di kbn jrk, udah 1 jam...jnck!!! (maksudnya sih bilang jancuk!!!). Coba aja kalau dikalikan pemakai hp yang bercit-cat di tengah kemacetan yang rata-rata 2-3 jam, para provider pasti terbahak-bahak membayangkan angka-angka yang semakin memenuhi pundi-pundinya. Dulu harga hp mahal banget apalagi kalau mau daftar...berbelit pakai lampiran peta rumah dan survey segala. Mirip kalau mau ngurus kartu kredit. Sekarang?....mereka yang akan menguber-uber kita, dan seakan yang berhak menentukan gaya hidup kita...oala rek-rek....

Hujan belum berhenti ketika akhirnya aku memarkir mobil. Kalau dihitung, perusahaan pastilah udah rugi tiga jam. Tapi kita hidup di Indonesia yang penuh ramah tamah ha...ha...lagian kita kan pulangnya selalu malam (bela diri nih!!!) Pembicaraan pun pasti tentang jalanan, seperti halnya kewajiban kita yang harus saling berbagi.

Sekali lagi,
gak usah dibahas kenapa hal ini bisa terjadi di negeri tercinta ini. Anggap saja ini suatu takdir yang menghiasi jalan hidup sampai akhir nanti. Yang pasti aku sampai saat ini masih merasakan betapa senangnya menikmati kopi...(udah lebih dari 15 th aku berhenti minum kopi, tapi karena sugesti minum sari buah merah dari Papua sehingga asam lambungku gak naik karena minum kopi....ya udahlah sekali-sekali aku minum kopi)

pagi ini aku ingat supertramp:

it's a raining again
oh no, my love's at an end
oh no, it's raining again
and you know it's hard to pretend

Monday, January 16, 2006

Pagi Yang Muram...


Pagi ini, kutinggalkan rumah seperti biasanya untuk memenuhi kewajiban: bekerja. Matahari mengalah untuk tidak memberikan sinarnya sesuai jadwal yang telah disepakati. Awan putihlah yang pegang peranan sejak menjelang peringatan lahirnya Yesus Kristus. So, gampang ditebak, khususnya Jakarta bahwa bau baju yang gak kering udah biasa. Hampir tiap hari selalu mendung dan orang-orang di daerah tertentu selalu berharap cemas akan datangnya souvenir likuid: banjir!

Bener juga, pas jam 12 hujan turun deras sekali. Kelihatan sekali angin kencang dari sisi kiri gedung. Banyak teman yang cari OB karena makan diluar gak mungkin. OB-OB yang dibutuhkan sudah setengah jam yang lalu cabut untuk melayani pelanggan yang emang rutin nitip makan siang. Sementara yang temporer begitu kelabakan menunggu datangnya OB. Kulihat di bawah udah berkerumun ojek payung menawarkan jasanya. Sekelompok kecil masyarakat yang mendapat berkah akibat hujan.

Di layar tv, selintas terlihat beberapa kali tayangan iklan dari sampoerna dengan tagline simple banjir kok tradisi, sementara visualisasinya ada beberapa orang berseragam (mungkin pemda atau kerabatnya) mengabarkan bahwa banjir telah datang. Salut buat sampoerna yang telah rela mengeluarkan bugdet untuk iklan yang oleh sebagian orang masih dianggap buang-buang duit, artinya tidak menjual, tidak ada produk, tidak ada logo perusahaan yang besar.

Akan tetapi, banjir yang di-"suudzon"i sebagai bencana tidak membuat pemerintah dan masyarakat menjadi cerdas dengan mengantisipasi atau paling tidak merubah kebiasaan hidup yang bisa mengakibatkan banjir. Mudah ditebak, berbagai pernyataan di bermacam media pastilah saling menyalahkan. Satu lagi kebiasaan buruk yang telah menjadi komoditi media. Pemerintah dan banyak segelintir pakar atau orang yang sok tahu akan menyalahkan masyarakat, karena perbuatannya menyebabkan banjir apakah itu kebiasaan sehari-hari dengan membuang sampah sembarangan sampai penebangan hutan.

Mengapa masyarakat membuang sampah sembarangan, mengapa hutan ditebangi terus. Mencari jawabannya adalah pekerjaan yang sangat menguras energi. Jangan gantungkan harapan kepada institusi resmi karena akan dua kali menguras energi juga, apalagi partai politik... Lebih baik memikirkan langkah ke depan agar dapat merebut kursi kekuasaan.

Yang mempunyai positiv thinking pastilah akan berpikir bahwa banjir juga membawa dampak sosial tentang solidaritas dan melahirkan dua peranan dikotomis: ada korban ada penyelamat. Semua berlomba dan secara verbal bersikap kasihan dengan menyalurkan berbagai bantuan tenaga dan biaya. Si korban yang ter-hegemoni akan berterima kasih karena selamat dan merasa terkasihi, sekali-sekali merasa menjadi subyek walaupun tetap membuang sampah sembarangan dan menetap di daerah yang hampir pasti selalu kena banjir.

Pemerintah juga tidak rugi membayar pegawainya karena ada beberapa departemen terkait secara kasat mata kelihatan bekerja karena "musibah" banjir ini. Menterinya pun secara berkala harus membagi-bagikan statement tentang eksistensi departemennya dan keberhasilan atau paling tidak klarifikasi kalau dianggap tidak becus bekerja....(kayak tayangan berita kriminal aja di tv...ada kepala polisi yang memberikan keterangan sementara para anak buahnya mendampingi di belakang agar masuk tv juga...). Maka tahun depan tentunya boleh dong, anggaran dimark up lagi.

Nah, tentunya iklan Sampoerna versi banjir mempunyai tujuan tertentu. Siapa nih yang mau ditembak...kalau misalkan banjir itu membawa berbagai keuntungan bagi segelintir orang di atas penderitaan korban yang ternyata begitu menerima nasibnya....tag line iklan tersebut sudah ada jawabannya dong!!! BANJIR EMANG HARUS JADI TRADISI !!

Thursday, January 12, 2006

Awal Januari

Siapa pun yang menciptakan atau menuturkan, berrakit-rakit ke hulu berenang kemudian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, emang pas dan mudah-mudahan cocok dengan kondisi awal tahun ini. Saat 2005 menjelang ejakulasi menuju sekuelnya, badan ini terasa meriang dan hidung terasa mampet. Sebutir neozep kayaknya gak mempan, dan mudah ditebak bahwa awal tahun 2006 merupakan awal keprihatinan. Antibodi dalam tubuhku menyerah kalah dan taburan sugesti yang aku tancapkan di dalam benak bahwa aku harus sehat juga tak kunjung berhasil: aku kena flu.

Siangnya aku dengar banyak sodara datang ke rumah, tapi terpaksa aku cuekin dengan tidur pulas setelah neozep kedua atau ketiga, aku lupa. Malamnya terpaksa aku serahkan diri ke pihak yang berwenang yaitu dokter klinik dekat rumah. Cek sana, cek sini dengan standar, akhirnya aku bayar juga resep yang standar. Beberapa butir obat batuk-pilek dan antibiotik.

Untung saja besok masih libur, jadi aku masih berharap karena obat yang paling manjur adalah makan banyak dan beristirahat. Tapi sampai hari selanjutnya aku masih pilek dan batuk, ya sudahlah tak terusin lagi aja. Baru Kamis aku masuk kerja, itupun dengan kondisi yang pas-pasan.

Eala...i'm not the only one, tibak'e....
Ada beberapa teman yang kena flu, sehingga perasaan senasib yang membuat agak tak menyesali hidup di awal tahun. Aku juga heran kenapa aku yang begitu yakin dengan kondisi tubuhku, karena paginya masih sempat olah raga kok tiba-tiba drop banget dan langsung tumbang!!!

Ya sudahlah...emang ini musim lagi ganti kulit. Pergantian tahun yang memperingatkan kita untuk selalu mengantisipasi segala sesuatu agar semuanya bisa berjalan dengan lancar. Ada yang bilang lebih baik jadi mantan preman daripada mantan kiai, demikian juga tahun ini. Ada seberkas harapan agar awal yang "buruk" harus berakhir dengan "happy ending".

Semoga SBY-JK bisa bekerja lebih baik lagi.
Semoga DPR bisa mengurangi kebrengsekannya.
Semoga tentara bisa merata kesejahteraannya.
Semoga polisi bisa memperbaiki mukanya.
Semoga partai politik bisa mereduksi kebohongannya.
Semoga pedagang bisa berpisah dengan penguasa.
Semoga rakyat mulutnya berbisa agar bertuah kalau menyumpah!
Semoga aku bisa ngeblog dengan bebas merdeka...