Sisa Sisa Lebaran
Tak terasa kita sudah meninggalkan bulan suci umat Muslim: Ramadhan. Bulan sejuta berkah secara vertikal dan bulan sejuta masalah secara horisontal. Di Indonesia, mayoritas adalah umat muslim yang belum seluruhnnya mempunyai keseimbangan dalam memaknai ajaran religi yang dianutnya.
Setiap bulan suci tiba, di beberapa tempat dipasang spanduk gedhe-gedhe “Hormatilah Yang Berpuasa” atau ada juga yang mengeluarkan biaya tambahan untu membeli kain agar warungnya tertutup dan pembeli tidak malu untuk makan. Yang tidak beruntung banyak juga karena disapu bersih oleh sebagian masyarakat yang menganggap hal itu adalah melecehkan bulan suci. Istilah kerennya “kena sweeping!”. Pokoknya selama Ramadhan ada sebagian kebiasaan berubah. Semua aktifitas yang berhubungan dengan maksiat harus hilang sementara.
Agak aneh juga sih, karena aku masih ingat ketika guru ngajiku pernah mengingatkan bahwa menjalankan ibadah adalah hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan. Menjalankan ibadah puasa adalah untuk diriku sendiri, menjadi urusanku sendiri dengan Tuhanku dan bukan untuk orang lain walaupun itu adalah ibuku. Aku yakin dan akan lebih bermartabat apabila godaan datang bertubi-tubi ketika aku menjalankan ibadah puasaku. Makanya agak geli juga lihat spanduk-spanduk yang minta menghormati orang berpuasa. Sebetulnya ini sih,masalah pilihan. Enak mana, mendapat kehormatan dari manusia atau dari Allah SWT….
Menjelang berakhirnya Ramadhan hingga Lebaran tiba, masyarakat sibuk lagi.
Hubungan horisontal emang rentan dengan masalah yang kita bikin sendiri. Yang tadinya berharap lebaran adalah merayakan kemenangan bersama-sama jadi sedikit terganggu karena hari lebaran jatuhnya nggak kompak. Ini bukan yang pertama dan kita gak kapok-kapok. Demokratisasi dan saling menghormati jadi tameng bagi penentu kebijakan untuk tidak mengaku bersalah. Februari yang punya 28 hari aja bisa dihitung. Gerhana matahari atau bulan yang akan datang aja bisa kita hitung. Kalender 2007 aja sudah bisa dicetak. Pelajaran tentang astronomi sudah begitu maju, tapi kenapa hal ini bisa terjadi. Sangat memprihatinkan.
Penentuan kapan Ramadhan berakhir dan kapan harus merayakan Lebaran adalah hal yang sepele. Allah Mahaadil, Mahabijaksana, Mahapemaaf, Mahasegalanya. Apabila kita salah dan minta maaf dengan serius pasti Dia Mengampuni. Tetapi yang terjadi adalah kebingungan umat karena para pemimpinnya senang bikin orang bingung. Hal mudah dibikin repot menjadi biasa. Sekali lagi, sifat egois dan menomorsatukan kekuasaan masih susah dibuang.
Kita sih sadar, abis lebaran ini masyarakat pasti udah lupa. Setelah kembali ke bulan yang tidak “suci”, kita juga dengan rela melupakan semua kejadian tolol tersebut. Yang penting udah bisa mudik, pakai baju baru, kangen-kangenan dan kembali rutinitas kehidupan dengan terus berharap tahun depan bisa ketemu lagi dengan bulan suci Ramadhan dan berlebaran bersama-sama. Wah, kalau begini terus kita nggak lama lagi jadi bangsa yang goblok nih…(atau mungkin udah ya!!!!)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home