keatz

Friday, November 10, 2006

Menyambut Desember


Sejak kecil aku selalu ingat bahwa Desember adalah perayaan Natal. Walau pun tanpa acara mudik besar-besaran perayaan Natal bagiku adalah salah satu misteri kebesaran Tuhan. Mungkin terlalu sering lihat film-film asing bertema Natal di TV, kayaknya sejuk banget. Ada salju, Sinterklas, hadiah, harapan dan certita tentang baik dan buruk. Tetanggaku selalu membeli pohon natal dihias lampu warna warni, ditambahi kapas agar seperti salju. Sama seperti kata kakekku, apabila Ramadhan selalu ada kurma yang berasal dari Arab.

Lantas, setelah aku terjebak kemacetan sejak setelah Lebaran kemarin bayanganku tentang Desember mungkin sedikit berubah. Setelah tahu macetnya karena ada galian-galian baru, ada jalur baru busway, ada proyek monorel yang teronggok jorok, maka menjelang Desember adalah perayaan penghabisan anggaran. Toh, tahun depan masih ada dan wajib bikin anggaran maka mubadzirlah apabila anggaran tahun ini masih sisa... Kapan sih berakhir, pembangunan proyek pemerintah tanpa ada penjarahan uang rakyat... Kalaupun Ahmad Tohari sampai bikin cerita tentang "Orang Orang Proyek" mungkin dia mempunyai pertanyaan yang sama sejak dulu.

Orang kita emang aneh-aneh, sejak reformasi semakin aneh saja. Milih-milih pemimpin sendiri abis itu digoyang sendiri. Kalau presidennya bukan dari kelompoknya pasti selalu kelihatan salah melulu. Banyak orang merasa yang paling benar. Banyak orang yang sok masuk surga. Begitu rapuhnya empati mereka sehingga bencana alam pun jadi peluang usaha. Akhirnya aku lalui juga salah satu titik kemacetan dari sekian titik laknat tersebut. Kiat agar tak frustasi adalah tidak memikirkan bagaimana kemacetan itu terjadi akibat genangan hujan, akibat galian dan segala akibat egoisme struktural.

Anggap aja hidup ini judi, kalau hari ini kita tiba-tiba terjebak kemacetan berarti kita harus menikmati dan apabila perjalanan kita lancar jaya anggap aja baru dapat jackpot. Lebar jalan tetap, pemakai kendaraan bertambah, ya pasti dong tumplek blek dan macet. Sama aja kayak jumlah petani selalu bertambah, tapi lahan untuk digarap tetap, ya mesti dong yang gak punya lahan pindah ke kota...

Nah, Desember ini juga masih menyisakan masalah yang setiap tahunnya itu-itu aja. Desember adalah bulan basah. Kita
selalu bawa sandal jepit agar sepatu gak basah, tali jemuran cepat kendor karena selalu penuh baju cucian atau kadang baju kita agak bau apek karena gak kering maksimal udah kita pakai. Kita juga agaknya sudah lupa kalau tahun kemarin selalu menguras air akibat banjir, selalu terpaksa lama di kantor karena hujan jelas bikin macet, selalu ada berita satu desa terendam dan selalu ada iklan layanan masyarakat tentang mereka.

Selalu ada pertanyaan, kenapa selalu banjir? Beribu jawaban pasti itu-itu melulu...Kita tidak disiplin, buang sampah sembarangan, bangun rumah di tepi sungai, jarang kerja bakti bersihkan selokan atau gorong-gorong. Tapi gak ada yang nanya, kenapa kalau bikin rumah di tepi sungai gak dilarang tapi selalu ditarik pajak, selalu ada meteran PLN. Sama kayak PKL, abis ditarik duit trus diusir...Kenapa gak ditanya pembangunan gedung-gedung yang melibas resapan air...Coba deh kita main ke perumnas kelas menengah bawah, apakah pembangunan selokannya sudah sesuai...lebarnya berapa, dalamnya berapa, diukur gak ketinggiannya agar air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah...

Ya itulah...semua sama saja karena kita selalu tidak pernah memikirkan apa yang terjadi apabila bulan Desember datang, lantas Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember lagi. Maksudku mimikirkan segala sesuatu agar aku gak menulis curhat di blog ini.

Thursday, November 09, 2006

Sisa Sisa Lebaran


Tak terasa kita sudah meninggalkan bulan suci umat Muslim: Ramadhan. Bulan sejuta berkah secara vertikal dan bulan sejuta masalah secara horisontal. Di Indonesia, mayoritas adalah umat muslim yang belum seluruhnnya mempunyai keseimbangan dalam memaknai ajaran religi yang dianutnya. Ada yang menjalankan kehidupannya dengan mengimplementasikan garis horisontal dan vertikal secara seimbang, ada yang cenderung selalu vertikal ada pula yang fanatik horisontal.

Setiap bulan suci tiba, di beberapa tempat dipasang spanduk gedhe-gedhe “Hormatilah Yang Berpuasa” atau ada juga yang mengeluarkan biaya tambahan untu membeli kain agar warungnya tertutup dan pembeli tidak malu untuk makan. Yang tidak beruntung banyak juga karena disapu bersih oleh sebagian masyarakat yang menganggap hal itu adalah melecehkan bulan suci. Istilah kerennya “kena sweeping!”. Pokoknya selama Ramadhan ada sebagian kebiasaan berubah. Semua aktifitas yang berhubungan dengan maksiat harus hilang sementara.

Agak aneh juga sih, karena aku masih ingat ketika guru ngajiku pernah mengingatkan bahwa menjalankan ibadah adalah hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan. Menjalankan ibadah puasa adalah untuk diriku sendiri, menjadi urusanku sendiri dengan Tuhanku dan bukan untuk orang lain walaupun itu adalah ibuku. Aku yakin dan akan lebih bermartabat apabila godaan datang bertubi-tubi ketika aku menjalankan ibadah puasaku. Makanya agak geli juga lihat spanduk-spanduk yang minta menghormati orang berpuasa. Sebetulnya ini sih,masalah pilihan. Enak mana, mendapat kehormatan dari manusia atau dari Allah SWT….

Emang sih, setiap ramadhan suasana jadi agak lain. Kemacetan terjadi sebelum bedug maghrib, banyak warung tertutup, masjid selalu penuh baik untuk sholat maupun untuk numpang tidur di siang hari, tayangan TV banyak berubah, konsep beriklan disesuaikan, busana muslim laku keras, artis banyak yang tobat, buka bersama jadi agenda rutin, lokalisasi hampir pasti dilarang jualan. Ada juga yang menumpang kesakralan Ramadhan dengan jualan janji ke seluruh pondok pesantren. Minta doa restu dan berharap agar Pemilu nanti jangan lupa memilih kelompoknya.

Menjelang berakhirnya Ramadhan hingga Lebaran tiba, masyarakat sibuk lagi. Ada perang diskon dimana-mana tapi ada pula yang mati-matian menaikkan tarif. Terminal jadi penuh, pelabuhan jadi sesak, bandara jadi pasar. Segala konsep pemasaran disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat menyambut Lebaran. Mudik membawa berkah bagi pedagang. Karena mudik adalah acara kangen-kangenan sekaligus unjuk gigi tentang keberhasilan, maka menjadi hal biasa bagi kaum urban yang tadinya berangkat bermodal cangkul bisa pulang menggenggam handphone.

Hubungan horisontal emang rentan dengan masalah yang kita bikin sendiri. Yang tadinya berharap lebaran adalah merayakan kemenangan bersama-sama jadi sedikit terganggu karena hari lebaran jatuhnya nggak kompak. Ini bukan yang pertama dan kita gak kapok-kapok. Demokratisasi dan saling menghormati jadi tameng bagi penentu kebijakan untuk tidak mengaku bersalah. Februari yang punya 28 hari aja bisa dihitung. Gerhana matahari atau bulan yang akan datang aja bisa kita hitung. Kalender 2007 aja sudah bisa dicetak. Pelajaran tentang astronomi sudah begitu maju, tapi kenapa hal ini bisa terjadi. Sangat memprihatinkan.

Penentuan kapan Ramadhan berakhir dan kapan harus merayakan Lebaran adalah hal yang sepele. Allah Mahaadil, Mahabijaksana, Mahapemaaf, Mahasegalanya. Apabila kita salah dan minta maaf dengan serius pasti Dia Mengampuni. Tetapi yang terjadi adalah kebingungan umat karena para pemimpinnya senang bikin orang bingung. Hal mudah dibikin repot menjadi biasa. Sekali lagi, sifat egois dan menomorsatukan kekuasaan masih susah dibuang.

Kita sih sadar, abis lebaran ini masyarakat pasti udah lupa. Setelah kembali ke bulan yang tidak “suci”, kita juga dengan rela melupakan semua kejadian tolol tersebut. Yang penting udah bisa mudik, pakai baju baru, kangen-kangenan dan kembali rutinitas kehidupan dengan terus berharap tahun depan bisa ketemu lagi dengan bulan suci Ramadhan dan berlebaran bersama-sama. Wah, kalau begini terus kita nggak lama lagi jadi bangsa yang goblok nih…(atau mungkin udah ya!!!!)