“Ada apa ya bangsa kita ini…?”
Kalau Anda sudah berkeluarga dan mempunyai anak yang terpaksa harus “sekolah”, mau gak mau harus menghadapi tantangan baru. Mengutak-atik “cash flow” rumah tangga yang otomatis tersedot ongkos status baru anak-anak kita agar pembicaraan jadi nyambung apabila kita ngobrol dengan orang lain. Komunikasi dua arah biasanya lancar apabila masing-masing yang berkomunikasi mengalami pengalaman yang sama dengan topik yang disepakati. Apabila musim penerimaan siswa baru, maka topik orang tua akan berkisar seputar ongkos anak kita untuk “pinter”.
Setelah ngobrol tentang ongkos sekolah, pikiran kita tergiring pada perbandingan. Yang ini murah, yang itu mahal. Yang ini bergengsi, yang itu norak. Yang ini kafir, yang itu dijamin masuk surga. Trus, kenapa ongkos sekolah sekarang mahal? Nah, balik lagi kan…pasti akan diomongin bahwa pemerintah kita sih kayak begini…mulai dari lumpur Lapindo sampai kasus STPDN atau apapun namanya akan menjadi topik bawaan yang terseret-seret karena persoalan “obrolan tentang biaya hidup kita sekeluarga”.
Apalagi pemilu mau digelar lagi dan ongkosnya pun tak terhingga apabila termasuk “social cost”. Pesta yang konon demokratis
Mungkin juga karena Pemilu itu lebih menarik, makanya banyak persoalan bangsa dianggap “sunnah” hukumnya. Masyarakat korban lumpur Lapindo dan sekitarnya serta sekitarnya yang agak jauh, diwajibkan menerima dan belajar pasrah bahwa cobaan dari Tuhan akan membawa berkah. Sama seperti kutipan liar yang selalu menimpah calon jemaah haji kita. Bayar pungli dengan ikhlas agar selamat dunia akhirat.
Belum lagi bencana lainnya. Paling-paling kita cuma bisa protes ke Tuhan yang telah Menciptakan bencana tersebut. Entah itu sebutan fenomena alam atau apa saja, tetap aja gak peduli bagaimana cara mengambil hikmah dari bencana tersebut dan menemukan solusinya sesuai Pancasila. Lagu Ebiet diputar lagi, siapa tahu ada yang bisa memahami dan mengerti bahasa tumbuhan sehingga bisa bertanya kepada rumput yang bergoyang. “kenapa ya, bangsa kita ini?...”